Termenung. Aku diam menatap daun yang
siang itu gugur. Ya gugur, sama halnya dengan kita. Daun itu lemah, tak berdaya
mengikuti angin yang menghempasnya. Sangat lemah, seperti kita saat ini. Namun
daun yang gugur itu berbeda, ia tidak pernah memaksakan untuk selalu bersama
dengan pohon. Tidak seperti kita yang terlalu memaksakan untuk selalu bersama.
Ketika berbicara dan mengenal, kita
anggap sebagai pertanda. Ketika semua persamaan dan perbedaan yang ada, kita
sangka sebagai suatu kebetulan. Ketika semuanya memiliki arti yang lebih, semua
itu salah. Kita selalu menyebut itu dengan, cinta.
Siang dan malam ini milik kita,
kurasa. Dunia ini milik kita, ku sangka. Dan lucunya, bahagia ini kusebut cinta
dan aku yakin. Kemudian semua terasa berbeda. Ketika tetes air mata mengalir
dan kau bilang:
“Kamu itu wanita hebat, air matamu tidak layak kau teteskan untuk seorang
pecundang seperti aku.”
Lalu aku seakan percaya dengan perkataanmu.
Aku hentikan air mataku. Dan dengan segala tekad, aku kembali padamu. Semua itu
terus terjadi selama kita bersama. Kita menganggap kita masih punya semuanya.
Lalu kembali lagi kita yakini ini dengan lugu. Sayang.
Waktu tak jua berhenti memancing kata
rindu terucap. Sikapmu yang dingin membuat aku kembali menahan. Dengan ego, ku
tahan sakitnya rindu. Dengan keras, ku lawan sepinya rindu. Kita ini lucu,
sama-sama rindu tapi saling menunggu dan gengsi untuk mengucapkannya. Tapi apa
menunggunya sampai selama ini? kenapa aku harus berpura-pura dan menganggap
semua baik-baik saja? Sedangkan hati ini belum yakin, apakah rindu ini
berbalas?
Kita menyebut ini cinta. Nyatanya tak
pernah ada kata sayang yang terucap. Tak pernah ada peluk yang menghangatkan.
Bahkan tak pernah ada komitmen yang menenangkan. Lantas masih bisakah ku yakini
ini cinta?
Kemudian waktu menjawabnya, kamu
berubah. Aku sadar itu. Bahkan pecundang ku kini telah berbalik menyakiti aku. Kini,
aku sadar. Selama ini aku dan kamu salah. Apa yang kita punya kemarin bukanlah
cinta. Aku dan kamu hanya 2 insan yang memaksakan untuk bersama.
Tak mau berlarut-larut aku sudahi
sakit ini. Aku sudah muak dengan kebahagiaanmu yang justru menyakitkanku. Kini hanya
ada aku dan kamu tanpa kata kita. Mungkin kamu merasa sakit. Tapi sesungguhnya
aku lebih dulu dan lebih lama merasakan sakit itu. Kamu bilang kamu yang tersakiti?
Lalu semua pengabaianmu terhadapku itu apa? Apa pengabaianmu itu tidak
menyakitiku? Sakit ini milik siapa?